Digital Access | Digital Citizenship
Pengertian, Kasus, Pro & Kontra, Pendapat Para Ahli
Pengertian Digital Citizenship
Kasus
Saat sebagian penduduk Indonesia tersulut emosinya karena internet lemot, masih ada sebagian yang bahkan belum tersentuh oleh jaringan seluler.Kelimpangan bukan hanya perkara rasio gini, tetapi juga soal perbedaan akses.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI1), jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 143,26 juta atau sekira 55% dari populasi. Artinya, masih terdapat 45% sisanya yakni sekira 117 juta masyarakat yang masih belum tersentuh internet.
Potret tersebut menunjukkan bahwamasih terdapat pekerjaan rumah pembangunan infrastruktur telekomunikasi agar internet dinikmati di tiap jengkal wilayah Indonesia. Sayangnya, pemerintah pun belum mengetahui pastinya lokasi 117 juta penduduk yang belum tesambung ke dunia maya ini. Apa yang ada, hanya peta daerah-daerah terpencil yang masuk kategori tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
Padahal, masih banyak daerah yang tak masuk kategori 3T tetapi tidak tersentuh sinyal. Hal itu, menjadi tantangan tambahan karena kerangka pembangunan infrastruktur saat ini baru mengacu pada daerah 3T yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 hingga 2019.
Mengacu data Badan Pembangunan Nasional, lokasi prioritas pembangunan infrastruktur telekomunikasi akan menyasar 7.666 desa di 1.475 kecamatan. Desa-desa ini tersaring melalui kriteria dalam Indeks Pembangunan Desa (IPD) seperti ketersediaan base transceiver station (BTS) dan ketersediaan sinyal dan peranti.
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan agar Rp l7 triliun yang merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika bisa dikucurkan untuk membangun infrastruktur.
"Bisa enggak agar Rp l7 triliun dari PNBP ini bisa digunakan untuk membangun akses di daerah yang masih terdapat blank spot 2 ." kata Pemimpin Rapat Dengar Pendapat Asril Hamzah Tanjung kepada perwakilan Kementerian Keuangan.
Tidak 100%
Dalam kesempatan yang sama, Direktur PNBP Kementerian Keuangan Mariatul Aini mengatakan dalam penganggaran, seluruh PNBP sektor terkait tak bisa dikembalikan 27100%. Pasalnya, pakem penggunaan anggaran telah diatur bahwa kesehatan, pendidikan dan dana alokasi umum (DAU) telah memiliki porsinya masing-masing.
Dengan demikian, meskipun sektor telekomunikasi mengumpulkan Rp 17 triliun, hanya sebagian yang bisa dikembalikan. Itu pun, katanya, harus diusulkan dalam APBN setiap tahunnya.
"Setiap PNBP, 26% menjadi hak daerah atau DAU, 20% untuk pendidikan dan juga kesehatan. Jadi setiap PNBP tidak bisa dikembalikan 100% ke sektornya," katanya.
Deputi Kepala Bappenas Bidang Pengembangan Regional Rudy Soeprihadi Prawiradinata mengatakan pihaknya tak bisa begitu saja memasukkan pembangunan BTS di daerah yang tak masuk kategori 3T. Kecuali, katanya, konsep 3T diubah agar daerah tak bersinyal bisa tersentuh. "Kami bukan pihak yang memiliki kapasitas untuk membangun daerah di luar 3T," katanya.
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Anang Lathif mengatakan pihaknya kesulitan mengakselerasi pembangunan infrastruktur karena wilayah yang tak memiliki sinyal berada di luar daerah 3T. Untuk daerah yang tergolong 3T saja, pihanya baru bisa menyediakan di 800 BTS.
Untuk daerah Iain di luar 3T yang belum terdapat sinyal, masih belum ada kepastian baik lokasi maupun jumlah. Oleh karena itu, pihaknya perlu melakukan perhitungan ulang.
"Ada sekitar 7.000 desa yang harus ter-cover. Kami saat ini sudah membangun 800 BTS Untuk yang di luar 3T, kami harus sisir lagi," ujarnya.
Menurutnya, pembangunan BTS saat ini hanya mengandalkan biaya universal service obligation (USO) atau kontribusi para pelaku usaha telekomunikasi. Pemerintah mengumpulkan Rp 2,5 triliun per tahun yang dialokasikan untuk penyediaan BTS di daerah yang belum tersentuh jaringan seluler bergerak.
Pihaknya pun sudah mengusulkan masalah ini agar daerah-daerah tanpa sinyal bisa menjadi perhatian. Tanpa adanya penambahan infrastruktur baru, mustahil bisa menutup ketimpangan sinyal.
Di sisi lain, bila mengandalkan operator seluler, dia menyebut daerah ini tak memberikan prospek yang menarik dari segi bisnis. Dengan demikian, daerah ini tak dilirik oleh para operator yang kini justru memusatkan perhatian ke kota-kota besar dengan aktivitas internet tinggi.
Cerita tentang ketimpangan mungkin bukan hal baru. Namun, bukan berarti hambatan keterbatasan anggaran menjadi alasan untuk memaklumi belum tersedianya akses seluler. Ambisi menikmati kue dari ekonomi digital, terdengar klise saat masih ada sebagian kecil masyarakat yang tak bisa menikmati layanan telekomunikasi untuk sekadar memberi kabar melalui panggilan suara ataupun SMS.
Pro & Kontra
Pro
Kontra
Pendapat Para Ahli
"Ada tiga tipe kesenjangan digital yaitu access divide atau kesenjangan digital tahap awal yang merujuk pada kesenjangan antara masyarakat yang memiliki akses dan yang tidak memiliki akses terhadap TIK."
Molnar (2003)
"Lokasi geografis merupakan salah satu faktor signifikan yang mempengaruhi akses masyarakat dalam penggunaan Internet."
Chen dan Wellman (2004)
"Anak-anak yang hidup pada tingkat sosial ekonomi rendah tidak mempunyai akses yang sama terhadap komputer dan internet jika dibandingkan dengan pelajar yang status sosial ekonominya lebih tinggi. "
Thomas (2008)
Edited By : Ronald P.
Komentar
Posting Komentar